BERITA INDEX BERITA
Lebih Baik Menjaga Mata Air, Daripada Meneteskan Air Mata

“SELURUH Masyarakat Adat di Indonesia harus terus menjaga
dan mengelola hutan beserta isinya. Karena lebih baik menjaga mata air,
daripada meneteskan air mata,” tutur Raymundus Remang, Kepala Desa Batu
Lintang/Ketua Gerempong Menuajudan - Sungai Utik
Komitmen dan kepedulian Raymundus Remang akan kelestarian
hutan di kampungnya itu, dipaparkannya dalam Konferensi Para Pihak Ke-16 atau
COP16 CBD tentang Keanekaragaman Hayati yang diselenggarakan di Cali, Colombia,
pada 21 Oktober - 1 November 2024. Bersama masyarakat adat Kalimantan yang
hadir dalam forum, Raymundus Remang bercerita ke masyarakat global tentang
praktik-praktik monitoring keanekaragaman hayati yang dilakukan di wilayah adat
mereka.
Patut disadari, perlindungan keanekaragaman hayati tidak
bisa lepas dari peran serta masyarakat adat dan lokal yang sejak lama sudah
menjadi bagian dari ekosistem di wilayah adatnya. Praktik-praktik pemantauan
keanekaragaman hayati (biodiversity monitoring) sejatinya sudah dilakukan oleh
masyarakat adat.
Sebagai pulau terbesar ketiga di dunia, di pulau Kalimantan terdapat
sedikitnya 15,000 jenis tanaman, 288 jenis mamalia, 350 jenis burung, 150 jenis
reptil dan amfibi, menjadikan Kalimantan sebagai daerah penting bertemunya
beragam kebudayaan dengan tingginya keanekaragaman hayati.
Dari keseluruhan biodiversitas tersebut, berbagai kelompok
Masyarakat Adat secara turun temurun telah melakukan perlindungan terhadap
keanekaragaman hayati yang ada di wilayahnya. Praktik ini disampaikan oleh
perwakilan masyarakat adat Ketemenggungan Iban Jalai Lintang, Kalimantan Barat
dalam salah satu side event di COP16 CBD.
“Generasi muda adat harus lebih aktif menjaga dan mengelola
wilayah adat sebagai penerimaan leluhur, untuk masa depan yang terus baik,”
ujar Darius Doni sebagai pemuda dari generasi ketiga Ketemenggungan Iban Jalai
Lintang/Pengurus Daerah AMAN Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Kapuas Hulu sendiri merupakan salah satu bentang alam di
jantung pulau Kalimantan dengan keanekaragaman hayati yang tak tertandingi.
Hamparan hijau hutan hujan tropis yang berada di Kapuas Hulu merupakan benteng
terakhir bagi banyak spesies flora dan fauna, termasuk Rangkong gading yang
terancam punah serta 7 jenis rangkong Kalimantan, orangutan, dan jutaan makhluk
lainnya yang menyebut hutan ini sebagai rumah.
Praktik masyarakat adat dalam konservasi keanekaragaman
hayati berakar kuat pada hubungan kosmos dalam penjagaan terhadap ekosistem
alam. Praktik baik oleh masyarakat adat dalam pengelolaan ekosistem
berkelanjutan yang dilakukan turun temurun, karena segala kebutuhan yang
diperlukan untuk menunjang kehidupan masyarakat adat terpenuhi oleh alam.
Masyarakat Adat Dayak Punan Tugung
Selain Masyarakat Adat Ketemenggungan Iban Jalai Lintang,
juga ada Masyarakat Adat Dayak Punan Tugung di Kabupaten Bulungan, Kalimantan
Utara. Meskipun wilayah adat mereka sepenuhnya berada dalam izin konsesi
perusahaan dan masuk dalam kawasan hutan, Masyarakat Adat Dayak Punan Tugung
tetap menjaga keanekaragaman hayati yang berada di wilayah adat mereka.
Rahmat Sulaiman dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
(JKPP) menyampaikan, “Kondisi wilayah adat Dayak Punan Tugung cukup
memprihatinkan, karena keseluruhan dari wilayah adat berada dalam konsesi PT.
Intracawood yang bergerak pada Hak Pengelolaan (HPH). Baik dalam fungsi
produksi maupun lindung, keseluruhan masuk dalam konsesi. Namun, perbedaan
pengelolaan hutan oleh korporasi dan Masyarakat Adat terlihat sangat mencolok
dan menunjukkan bagaimana Masyarakat Adat Dayak Punan Tugung mampu melindungi keperawanan
hutan adat mereka.”
Nurhayati, perempuan adat Punan Tugung bercerita tentang
pengetahuan tradisional berbasis kearifan lokal di wilayah adat mereka di ajang
COP 16 CBD. Ia mengungkapkan bahwa obat-obatan tradisional atau Ethnobotani
telah dimanfaatkan secara turun temurun.
Pada kesempatan dalam pemaparannya, Nurhayati menunjukkan
berbagai tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai obat-obatan, mulai dari
panas dalam, penawar racun, dan lain sebagainya kepada para peserta dalam ASEAN
Pavilion. “Hutan adalah supermarket dan apotek gratis bagi kami. Dari hutan,
kami bisa mendapatkan segala kebutuhan yang kami perlukan. Kami tidak bisa
dipisahkan dengan hutan adat kami.” tambah Nurhayati.
Di sisi lain, sebagai aktor utama penjaga keanekaragaman
hayati, pengakuan terhadap masyarakat adat masih minim. Data PADI Indonesia dan
JKPP menunjukkan bahwa pengakuan masyarakat adat di Kalimantan Utara baru ada
di 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten
Bulungan. “Untuk jumlah komunitas adat yang telah mendapatkan pengakuan hingga
saat ini baru ada 19 Komunitas yang tersebar di 3 kabupaten tersebut.” ucap
Among, sebagai Direktur Eksekutif PADI Indonesia yang merupakan pendamping dari
Komunitas Adat Punan Tugung.
“Masyarakat Adat bukanlah yang menyebabkan kehilangan
keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, tetapi mereka adalah garda terdepan
pelindung biodiversitas dan sebagai pihak yang akan terdampak langsung terhadap
kehilangan biodiversitasnya. Oleh karenanya, pengakuan formal bagi Masyarakat
Adat dan dukungan dari masyarakat dunia tentang perlindungan dan kontribusi
masyarakat adat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati sangat kami butuhkan,”
tambah Among.
Masyarakat adat di Kalimantan pada kenyataannya bukan
merupakan satu-satunya yang sedang berusaha mendapatkan pengakuan atas status
dan ruang hidupnya. Tidak hanya di Indonesia, proses negosiasi dalam COP16 CBD
untuk penghoramatan dan pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang
telah terbukti berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati dan secara
tidak langsung juga berkontribusi dalam pencapaian target 3 KM-GBF, yang
berjalan dengan cukup alot.
Padahal, penghormatan terhadap hak dan pengakuan terhadap
ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan prasyarat utama bagi
masyarakat adat untuk bisa melangsungkan praktik pengelolaan ekosistem
berkelanjutan yang telah terbukti berhasil melindungi keanekaragaman hayati.
Yoki Hadiprakarsa dari Yayasan Rekam Nusantara menuturkan “Perjuangan masyarakat adat dalam menjaga dan mengelola hutan adat secara berkelanjutan sudah sejak lama dilakukan. Karenanya, perlu terus dukungan teknis dan pendanaan oleh para pihak untuk memastikan upaya pengelolaan melalui pemantauan keanekaragaman hayati terus berjalan, sebagai bentuk nyata kontribusi masyarakat adat dalam implementasi KM-GBF di Indonesia. Terpenting, untuk terus memberikan manfaat luarbiasa, untuk Indonesia dan masyarakat global”. (abdul aziz)
